Didekap asap pembakaran ratusan babi dalam upacara Rambu Tuka. Hanya bisa dialami di Toraja
Baronang Bakar sore itu sangat nikmat. Ikan segar terasa lebih manis ketika
dimasak. Beda dengan makanan laut yang sudah terlalu lama disimpan. Gerimis
seakan menabuh cacing perut yang keroncongan untuk semakin lahap menyantap
makanan. Angin laut yang bertiup dari pantai Losari seakan mengantar matahari
pulang ke peraduan.
Sore itu kami, saya dan Sandry menghabiskan senja di Makassar. Santai
sejenak menikmati kota Makassar sebelum menempuh perjalanan panjang ke Tana
Toraja. Yus, driver ramah yang berambut keriting siap mengantar berdua untuk
menjelajahi bumi Sulawesi Selatan. Yus asli Timor Leste. Ada kisah menarik dari
sosok Yus. Setamat dari SMP, Yus sempat masuk ke hutan ikut gerilya ketika
Timor Leste tengah bergolak.. aah nanti aku ceritakan. Sekarang saatnya berbagi
keseruan kisah menjelajah bumi Toraja.
Sekitar jam 8 malam, kami meninggalkan Makassar. Macet sempat menghiasi
jalanan selepas hujan. Rupanya kemacetan bukan lagi monopoli Jakarta. Kota-kota
di luar Jawa juga mulai dihantui kemacetan. Pemerintah harus segera menata kota
jika tak ingin ditenggelamkan macet.
Who is that? |
ROMA Roti Maros bertekstur lembut dengan isi selai Skrikaya. Rasa manis
selai Srikaya pas banget. Tak bikin gigi ngilu. Sangat disarankan untuk
memborong Roti Maros ini sebagai buah tangan khas Maros. Kalo kami membeli
beberapa bungkus ROMA sebagai bekal perjalanan. Sebungkus harganya 10.000. para
penjual ROMA banyak berjajar di sepanjang ruas jalan Maros – Pangkajenon.
Maros, kabupaten ini menyimpan beberapa objek wisata yang menarik. Lambaian
gemulai kepak sayap kupu-kupu di Taman Nasional Banttimurung membuai khayalan.
Semoga masih ada waktu setelah dari Toraja untuk mampir ke Banttimurung.
Sembari ngemil ROMA, kami menyusuri jalanan. Di beberapa ruas jalan, Yus
mesti menurunkan kecepatan karena jalan sedang diperbaiki. Tampaknya ini akan
jadi malam yang panjang. Perjalanan Makassar ke Toraja kira-kira membutuhkan 8
jam. Jika tidak membawa kendaraan sendiri, anda bisa naik bus malam ke Toraja
dengan tiket seharga 80.000. Penampakan bus malam Makassar – Toraja dari luar
cukup indah. Cat berwarna-warni dengan paduan beberapa lampu kecil. Lebih indah
ketimbang bus malam di Jawa.
Mataku terpejam. Entah sempat terlelap berapa lama.
Ketika mata terbuka, mobil dalam keadaan berhenti. Aku lirik ke bangku
sopir, Yus tak ada. Kemana gerangan Yus? Sandry masih tertidur. Jam di
dashboard menunjukan 03.00 dini hari. Aku melongok ke kaca. Ada sebuah rumah
makan. Kesempatan untuk meluruskan kaki sejenak dan mengosongkan kantung kemih
yang berasa penuh. Udara dingin menyergap ketika pintu mobil terbuka. Dari
seberang jalan terlihat Yus keluar dari toilet.
”Istirahat bentar mas” kata Yus
”Sampai dimana kita?”
”Enrekang mas, ngopi dulu mas” ajak Yus.
Udara dingin membuat perut kembali keroncongan. ROMA sudah tandas hanya
tersisa plastik pembungkusnya. Aku memesan semangkuk mie instan. Semerbak uap
mie instan membangunkan Sandry. Di rumah makan juga menyediakan beberapa
oleh-oleh khas Enrekang. Salah satunya salah Enrekang yang dibungkus dengan
daun. Aah dini hari begini lebih menggoda menyicip kehangatan mie instan
ketimbang mengunyah ”snakeskin fruit”.
Mie instan masuk ke perut. Secangkir kopi juga masuk perut. By the way kok dari awal cerita makanan melulu yaaa. Salah
satu yang aku sukai dari traveling adalah nafsu makan seakan bertambah meski
hanya semangkuk mie instant tapi di nikmati di tempat yang belum pernah rasanya
lebih nikmat. Jaga berat badan lhoo jangan kebablasan hahahahaaa.
Secangkir kopi tak mempan bikin mata melek. Kembali kami terpejam.
Maksudnya aku dan Sandry, kalo Yus mah harus melek karena nyetir. ”Kalo ngantuk
istirahat saja Yus” begitu pesanku sejak dari awal dijemput Yus di bandara
Hassanudin. Santai saja tak usah dipaksa. Safety first.
Kali ini yang membangunkan aku adalah udara segar yang masuk dari sela kaca
yang terbuka. ”Selamat datang di Toraja mas” ujar Yus.
”Udah nyampe?”
”Udah masuk Tana Toraja, paling 5 menit lagi masuk ke Makale”
Makale adalah ibu kota kabupaten Tana Toraja. Sejak 24 Juni 2008 kabupaten
Tana Toraja dimekarkan menjadi kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Makale dan
Toraja Utara dengan ibukota Rantepao. Naah di Toraja Utara inilah tujuan kami
berkunjung. Disana sudah menanti seorang kawan bernama Cakra. Keluarga besar
Cakra akan mengadakan upacara adat Rambu Tuka. ”Waah pesta besar nanti kita,
ratusan babi akan dikurbankan. Dan Rambu Tuka termasuk upacara adat yang
langka” iming-iming Cakra ketika kami bertemu di Jakarta. Cakra menawari
untuk tinggal di rumahnya. Dan tawaran itu kami sambut dengan senang hati.
Kebetulan ada teman juga yang sedang liputan di Tana Toraja. Mereka meliput
program khusus tentang kuliner. Dan mereka menginap di Hotel Pantan. Kami
sempat mampir ke kamar mereka. Numpang mandi hehehee. Lumayan badan segar siap
lanjut lagi jalan ke Rantepao yang berjarak sekitar 18 km.
Perjalanan panjang ini kami tempuh dalam rangka peliputan program
MutuManikam, sebuah program feature travelling dan kebudayaan yang tayang di
tvOne. Lovely Decembers menjadi ajang yang menarik untuk diliput karena upacara
adat dan atraksi wisata yang layak untuk ditayangkan. Yaa kami berdua saja,
Sandry – reporter merangkap jadi host, sedangkan saya – produser merangkap jadi
camera person.
Babi terbesar seharga 25 juta |
Saya akan membagi cuplikan liputan MutuManikam. Jadi terus baca kisah ini
yaa...
Jalanan berliku mengikuti kontur pegunungan. Kabut tipis menghiasi
pemandangan. Beberapa anak berseragam merah putih berjalan berangkat sekolah.
Bahagia sekali mereka. Menghabiskan masa kecil di daerah dan bisa bermain
dengan alam. Tak seperti anak kota yang hanya kenal PS dan Ipad. Aku punya
saudara yang waktu itu masih berumur 4 tahun. Si anak ini lahir dan besar di
Jakarta. Ketika berkunjung ke Klaten pas Lebaran, pandangan si anak tak pernah
lepas dari kaca mobil. ”Itu kok lapangan golf besar sekali?” ujar si
anak polos. Semua yang didalam mobil langsung terbahak-bahak. ”Kasian sekali
anak kota ini, sawah dikiranya lapangan golf”
Kembali ke Toraja. Kami sudah sampai ke Rantepao. Pesan singkat aku kirim
ke Cakra setelah BBM pending dan panggilan telpon tak dijawab. Tak berapa lama
Cakra membalas ”Ke arah kecamatan Sa’dan kalo sudah di Sa’dan sebut saja
nama Cakra, semua orang tahu” Waah sok beken juga niih teman satu ini.
Kami meluncur ke Sa’dan. Jalanan aspal mulai mengelupas. Lubang-lubang
besar menganga bak kubangan kerbau. Jangan-jangan memang tempat kerbau
berkubang. Di Toraja, banyak kerbau atau biasa disebut Tedong termasuk
hewan favorit dipelihara. Tedong dikurbankan dalam upacara Rambu Solo upacara
kematian. Orang Toraja percaya, Tedong sebagai kendaraan tunggangan
orang mati untuk menuju Puya. Bagi kaum bangasawan, minimal menyembelih
21 ekor kerbau. Dan kerbau jenis tertentu harganya bisa mencapai 500 juta.
Wuiih-wuiih. Tak heran bila upacara Rambu Solo menelan biaya milyaran rupiah. Hidup
untuk mati begitu ujar Cakra suatu saat pas kita lagi ngobrol tentang
budaya Toraja. Desember tahun 2014 keluarga Cakra juga akan mengadakan Rambu
Solo untuk nenek Cakra. ”Harus nabung mulai sekarang niih” senyum Cakra.
Rambu Solo memang sudah menjadi daya tarik wisata Toraja. Ribuan turis datang
untuk menyaksikan upacara kematian ini. Berkunjung ke Toraja paling pas sekitar
bulan Juni-Juli dan akhir tahun. Di bulan tersebut banyak keramaian upacara
adat.
Ngomong-ngomong soal Cakra, kembali ke pencarian rumahnya. Karena berada di
pegunungan maka sinyal adalah barang mewah. Berbekal selarik SMS kami berusaha
mencari rumah Cakra. Hanya dua kali bertanya, kami sudah diarahkan ke rumah
keluarga Cakra.
Kediamana keluarga besar Cakra sangat luas. Ada 2 Tongkonan, rumah adat
Toraja dan lebih dari 20 puluh lumbung berbaris rapi memagari halaman. Kami
menginap di salah satu Tongkonan. ”Tenang saja, tidak ada nenek disini”
goda Cakra.
”Maksud loe?”
Cakra menjelaskan bahwa tradisi Toraja bila ada orang meninggal dan menunggu
upacara Rambu Solo, maka jenazah disimpan di dalam Tongkonan. Sudah lebih
dahulu disuntik formalin tentunya biar awet. Nenek merupakan sebutan bagi orang
tua baik laki maupun perempuan di masyarakat Toraja. Makanya bila ditawari
menginap dalam Tongkonan pastikan dulu ada nenek ato tidak Cakra kasih pesan.
Dan juga. Cakra berpesan terutama
buat Sandry, kalo pacaran ama cowo Toraja, tanyain dulu ”Nenek sehat?” klo
Nenek masih sehat waah mending putus aja deeh ketimbang ntar kebagian keluar
biaya buat upacara Rambu Tuka” Kami pun tertawa mendengar guyonan Cakra.
Malam itu kami tidur lelap. Dan tentu saja, sebelum tidur, kami memeriksa
setiap sudut Tongkonan untuk memastikan tidak ada nenek yang lebih dahulu
”tidur” disitu.
Kaok burung gagak membangunkan kami. Di belakang Tongkonan ada rimbunan
pohon tempat berkumpul burung gagak. ”Kopi...kopi..” Cakra menenteng seteko
kopi dan beberapa cangkir. Di tangga Tongkonan kami menikmati Kopi Arabica
Toraja yang terkenal. Pekat, hitam dengan aroma mantap. Penganan kecil terbuat
dari ketan tersedia di piring. Langit cerah. Angin berhembus pelan mengoyang
beberapa daun bambu. Pagi yang sempurna.
Beberapa mobil sudah siap mengangkut keluarga besar Cakra menuju lokasi
upacara. Hanya berjarak sekitar 10 menit, kami tiba di Tongkonan keluarga besar
Mekkita. Tongkonan yang dibangun tahun 1976 tersebut dinamai Tongkonan Sireng.
Hari ini keluarga besar Mekkita mengadakan hajatan besar yaitu Rambu Tuka.
Upacara adat Toraja menjadi penyambung tali kekerabatan |
Dalam adat Toraja ada dua upacara besar yaitu Rambu Solo, upacara kematian
dan Rambu Tuka, upacara yang berhubungan dengan syukuran, syukuran panen padi,
syukuran perkawinan dan syukuran renovasi Tongkonan.
Di kecamatan Sa’dan upacara Rambu Tuka untuk syukuran Tongkonan disebut
Merok. Sedangkan di daerah Toraja lain disebut Mangrara Banua diambil
dari kata Mangrara (peresmian) dan Banua (rumah).
Sekitar 3000 anggota keluarga besar yang berasal dari 16 keturunan
menghadiri upacara ini. Waaah-waah ini mah mengalahkan acara silaturahmi
keluarga di Jawa yang biasa berkumpul pas Lebaran.
Selain jenis upacara yaitu upacara kematian dan upacara syukuran, yang
membedakan Rambu Tuka dengan Rambu Solo adalah hewan yang disembelih. Rambu
Solo mengorbankan kerbau sedangkan Rambu Tuka menyembelih babi. Menurut adat,
minimal 200 ekor babi harus disembelih dalam Merok. Dan dalam upacara
sekarang, keluarga besar Mekkita sudah menyiapkan 224 ekor babi sebagai wujud
rasa syukur kepada Puang Matua (Tuhan). Harga babi berkisar antara 5-10
juta rupiah per ekor.
Wuuiih alamat banjir babi niih halaman. Bagaimana rasanya berjalan diantara
lautan ratusan babi? Sabar yaaa. Soalnya Rambu Tuka mulai dimulai dengan
pembacaan doa dan dilanjutkan dengan berbagai tarian. Salah satunya tarian Ondo
Samalele. Puluhan perempuan mengenakan baju tradisional Toraja membentuk
lingkaran. Mereka menari dalam iringan tabuhan gendang.
Musik dan seni tari yang ditampilkan dalam Rambu Tuka tidak boleh dimainkan
dalam Rambu Solo.
Jadi Rambu Solo benar-benar upacara yang berbeda dengan Rambu Tuka. Bahkan
Rambu Tuka termasuk upacara yang langka digelar. Setelah 35 tahun, keluarga
besar Mekkita baru menggelar upacara Rambu Tuka atau Merok. Saya merasa sangat
beruntung bisa mengikuti prosesi Merok dari awal sampai selesai selama 5 hari
berturut-turut. Kembali ke tarian.
Sandry terlihat gembira dan larut dalam tarian, meski tak memakai baju
tradisional. Diantara perempuan yang berpakaian tradisional, terselip logat
jakarta loe-gue-loe-gue.
Naah berikut cuplikan tarian dalam upacara Rambu Tuka
Menurut salah satu panitya Merok, Atto Rattang sekitar 70% anggota keluarga
yang hadir merupakan perantauan. Mereka merantau ke berbagai penjuru daerah dan
kini berkumpul bersama untuk saling mengenal dan merawat tradisi Toraja. Pantas
saja, mungkin banyak perantauan Toraja yang mengadu nasib ke Jakarta dan kini
mereka kembali ke tanah leluhur.
Matahari semakin tinggi. Musik berhenti bertalu, para penari mulai minggir
dan berkumpul. Saatnya santap siang. Berbagai hidangan disuguhkan. Bagi anda yang Muslim,
disarankan untuk jeli memilih makanan. Karena banyak menu masakan terbuat dari
babi. Keluarga Cakra sudah tahu, maka mereka menyiapkan menu nasi merah dengan
ikan dan ayam goreng. Asyik nasi merah euuy. Jarang-jarang bisa makan nasi
merah. Sedangkan Sandry yang berdarah Batak merasa senang sekali bisa mencoba
masakan dari babi. Sandry mencicipi Pa’piong, daging babi yang dicampur
berbagai bumbu dan dimasak dalam batang bambu. Masakan khas Toraja.
Makan bersama bahagia bersama |
Ada rasa haru terselip dalam hati ketika melihat ribuan orang makan
bersama. Jalinan tali saudara direkatkan kembali dibawah naungan tradisi.
Perut kenyang. Angin semilir meninabobokan kesadaran. Agar tak jatuh
tertidur, kami berjalan-jalan diantara Tongkonan. Heei liat, sekumpulan orang
sedang merangkai uang kertas pecahan 100 ribu, dirangkai dengan sebilah bambu.
Kayak sate uang niih namanya. Kami bertemu dengan pak John Mala. Pak John
bercerita bahwa dia keturunan Toraja namun lama merantau ke Papua. Kini Pak
John punya usaha sebagai kontraktor. Menurut pak John, rangkain uang itu
disebut Ma’Toding, yaitu persembahan untuk keluarga yang mengadakan upacara.
Ada pecahan seratus ribu yang dibentuk mirip sate ada juga pecahan limapuluh
ribu yang dirangkai dengan tali rafia jadi semacam kalung.
Di tengah lapangan, orang kembali berkerumun. Tarian Ma’Toding dimulai.
Seorang perempuan yang mewakili anggota keluarga menari ditengah lingkaran.
Anggota keluarga lain mulai menyematkan Ma’Toding ke ikat kepala. Juga
mengalungkan uang ke leher penari. Banyak juga yang melemparkan uang yang jatuh
diantara kaki penari. Si penari terus bergerak perlahan diantara uang yang
berserak. Tarian ini menyimbolkan bentuk sumbangan kepada keluarga yang tengah
punya hajat.
Selesai menyematkan Ma’Toding, aku iseng bertanya ke Pak John, ”kira-kira
habis berapa buat ikut upacara ini?”
”Hmmm..” otak pak John sepertinya sedang berhitung. Buat tiket, hotel, trus
beli babi 3 ekor, buat Ma’Toding yaa kira-kira habis 60 jutaan.
Woow 60 juta buat turut berpartisipasi dalam upacara ini. Padahal pak John
bukan termasuk keluarga inti yang harus menanggung biaya keseluruhan upacara. Pak
John hanya datang, menyumbang 3 ekor babi dan uang untuk Ma’Toding.
Waaah habis berapa upacara Merok ini?
Kalo anda capek membaca, istirahat sejenak, nikmati rangkaian photo berikut..
Babi-babi mulai mengalir masuk ke Tongkonan Sireng |
Menggotong si babi |
Bate atau hiasan yang menyimbolkan strata sosial |
Para babi berbaris rapi |
haiiii babi |
Keheningan pagi pecah oleh teriakan babi. Berpuluh truk mengangkut babi dan
menurunkan di pintu masuk halaman Tongkonan Sireng. Babi lantas dimasukkan
kedalam kandang bambu. Puluhan orang lalu mengarak kandang babi masuk ke
halaman Tongkonan.
Kandang babi tersebut dihias dengan berbagai tanaman dan bunga. Menurut pak
Atto, Lempo atau hiasan kandang babi menyimbolkan status si pemilik
babi. Bila si pemilik babi keturunan rakyat jelata maka hiasan cukup berupa
bunga dan dedaunan. Sedangkan keturunan bangsawan boleh memakai Lempo yang
tinggi yang disusun dari kain-kain tenun mahal dan senjata.
Kain yang bertingkat itu disebut Bate.
Babi-babi terus mengalir masuk ke halaman Tongkonan. Orang mengarak dengan
wajah-wajah gembira.
Kandang-kandang babi ditata di sepanjang halaman. Tanah halaman becek dan
berlumpur karena hujan semalaman. Namun tidak mengurangi kemeriahan. Malahan
lumpur jadi obyek gurauan para pemuda yang menggotong kandang dengan
mencipratkan lumpur ke orang-orang sekitar mereka. Tidak ada yang marah. Malah
saling tertawa.
Bakar Babi |
That's me... yeaah this one not that one |
Membagi daging babi |
Sebuah kandang babi masuk. Dari jauh tampak megah dengan tumpukan Bate
tertinggi. Babi yang tergemuk dalam kandang. ”Naah itu babi tante gue” seru
Cakra. Seruan itu seakan menjawab mengapa Tongkonan keluarga besar Cakra
termasuk yang terbesar di Toraja. Cakra termasuk keturunan bangsawan.
Bate tertinggi dengan babi terbesar. Menurut si empu babi harganya 25 juta.
Wuuiiddiiihh.. babi termahal yang pernah kujumpai.
Hari beranjak sore. 224 ekor babi berjajar di halaman. Orang-orang lalu
lalang diantara lumpur becek yang bercampur dengan kotoran babi. Tapi hal itu
tak mengurangi rasa nikmat orang-orang yang kembali menikmati hidangan makanan.
Sungguh pemandangan yang langka. Terutama bagi saya yang jarang bergaul dengan
babi hihihihihiiii.
camera Rolliiiing.. and Actioooonn |
Dan inilah puncak Merok. Prosesi penyembelihan. Sebelum babi-babi
disembelih secara massal, terlebih dahulu menyembelih seekor kerbau. Kerbau
yang dikorbankan adalah kerbau hitam (Tedong Pudu”). Sebelum dikurbankan dengan
ditusuk tombak (Dirok) terlebih dahulu ada doa atau Disurak. Doa pujian kepada
Puang Matua, Tuhan yang Esa dalam ajaran Aluk To Dolo.
Cara pemotongan babi yaitu menusuk jantung babi lantas dibiarkan babi mati.
Bayangkan 224 babi disembelih secara bersamaan. Riuh sekali suara erangan babi
bercampur dengan teriakan orang-orang.
Saking banyaknya babi harus dibakar dengan alat khusus |
ratusan babi dikurbankan dalam upacara Rambu Tuka di Tongkonan Sireng |
Babi yang sudah mati lantas dibakar memakai bambu bekas kandang. Saking
banyaknya babi, maka ada yang dibakar dengan alat pembakar semacam las.
Asap segera menyelubungi Tongkonan Mekkita. Bayangkan saja, membakar sate
10 tusuk saja, asap sudah kemana-mana. Naah ini yang dibakar 224 ekor babi.
Mata pedih. Hidung tak kuat membaui asap pembakaran. Sapu tangan tak kuat
membendung asap yang masuk lubang hidung.
Sempat pula ada babi yang mencoba kabur dan terjadi kejar mengejar.
Setelah semua babi disembelih dan dibakar, lalu digotong dan dikumpulkan di
depan Tongkonan Mekkita. Pak Atto tampak sibuk mencatat nama para penyumbang
babi. Di tubuh babi tertera nama orang yang menyumbang.
Setiap nama yang menyumbang diumumkan dengan pengeras suara. Rasanya gengsi
bila ada keluarga yang tak menyumbang karena sumbangan tercatat dan diumumkan
di depan khalayak ramai. Bahkan di tubuh babi ditulisi nama si pemilik. Daging
babi pun lantas dibagi-bagikan.
Hari ini masyarakat Toraja berpesta. Pesta besar.
Tak hanya masyarakat yang berpesta, pemerintah Toraja Utara juga
mendapatkan keuntungan dari berbagai upacara adat yang berlangsung. Ada pajak
babi. Setiap orang yang menyembelih babi, dikutip 50 ribu per ekor.
Pengalaman yang luar biasa. Upacara yang luar biasa dengan biaya yang luar
biasa. Dan tentu saja bau asap bakaran 224 ekor babi yang luar biasa melekat
disekujur badan.
Saking melekatnya itu bau asap, ketika kami kembali ke rumah Cakra, ada
saudara Cakra oom Katong yang sedang duduk di teras. Mobil kami berjalan pelan
memasuki halaman rumah, begitu mendekati teras kami buka kaca.
”Waah kalian bawa oleh-oleh babi bakar ke rumah yaa ” kelakar Oom Katong.
”Kenapa oom, bau banget yaaa?” balasku sambil terkekeh.
”Mandi saja di Sungai Sa’dan. Jangan lupa minum airnya dikit. Kata orang
siapa yang minum air Sungai Sa’dan suatu saat akan kembali lagi”
”Waah boleh tuuh Oom”
Kami segera meluncur ke Sungai Sa’dan yang mengalir tak jauh dari Tongkonan
keluarga besar Cakra.
Air sunga Sa’dan jernih. Lebarnya sekitar 20 meter, dangkal dan berbatu.
Cocok buat mandi.
Kami berempat yaitu saya, Sandry, Yus dan si Xenia alias mobil yang kami
tumpangi segera menceburkan diri ke sungai. Yus dengan telaten memandikan si
Xenia. Karena saat upacara, si Xenia parkir tak jauh dari Tongkonan Sireng maka
kecipratan asap juga.
Bau asap yang hilang ditelah arus Sungai Sa’dan. Namun kenangan akan
indahnya upacara Rambu Tuka akan terus menempel dalam ingatan.
Lovely December Pengalaman tak terlupakan di Toraja Suatu hari dalam hidup anda, harus datang ke Toraja |
http://www.mymakassar.com
0 komentar:
Post a Comment